
Kuasa Hukum Hasto Cecar Ahli UGM soal Beban Pembuktian di Sidang KPK
Penulis: Lidya Thalia.S
TVRINews, Jakarta
Persidangan kasus dugaan suap dan perintangan penyidikan yang menjerat Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, kembali digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis, 5 Juni 2025. Dalam sidang kali ini, kuasa hukum Hasto mencecar ahli hukum pidana Universitas Gadjah Mada (UGM), Muhammad Fatahillah Akbar, terkait prinsip beban pembuktian dan tanggung jawab pidana dalam hukum.
Fatahillah dihadirkan oleh jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai ahli dalam sidang tersebut. Awalnya, pengacara Hasto, Patra M. Zen, menggali pendapat Fatahillah terkait siapa yang memikul beban pembuktian dalam kasus pidana.
“Bisa dijelaskan apa itu beban pembuktian?” tanya Patra.
“Beban pembuktian adalah pihak yang wajib untuk membuktikan sesuatu dalam proses hukum,” jawab Fatahillah.
Saat ditanya lebih lanjut mengenai siapa yang memikul beban pembuktian dalam kasus suap dan perintangan penyidikan, Fatahillah menjelaskan bahwa beban tersebut berada pada penuntut umum. Ia juga menegaskan bahwa terdakwa tidak berkewajiban membuktikan dirinya tidak bersalah.
Patra lalu mengarahkan diskusi ke wilayah teoritis dengan mengangkat konsep “guilt” dan “responsibility”. Ia merujuk pada pemikiran filsuf Karl Jaspers yang membedakan antara rasa bersalah dan tanggung jawab pidana. Fatahillah menjawab bahwa “guilt” berhubungan dengan unsur kesalahan, yang menjadi dasar untuk menetapkan tanggung jawab atau “responsibility”.
Patra menambahkan kutipan dari kamus hukum Black’s Law Dictionary tentang tanggung jawab hukum sebagai kewajiban untuk menjawab atas tindakan yang dilakukan serta memperbaiki akibat yang ditimbulkan. Ia menegaskan bahwa hanya pihak yang melakukan kesalahan yang dapat diminta pertanggungjawaban pidana.
Ia lalu memberikan analogi, jika seseorang mencatut namanya untuk menipu, maka pelakunya yang harus bertanggung jawab, bukan dirinya, kecuali keterlibatannya dapat dibuktikan. Fatahillah setuju dengan pernyataan tersebut, dan menegaskan bahwa semua harus dibuktikan sesuai dengan hukum pembuktian yang berlaku.
“Kalau hanya membawa nama saja tanpa keterlibatan, tidak bisa serta-merta dijadikan tersangka. Harus ada bukti yang menunjukkan pengetahuan atau peran dari pihak yang dituduh,” jelas Fatahillah.
Dalam dakwaannya, jaksa KPK menuduh Hasto Kristiyanto telah merintangi penyidikan kasus suap yang melibatkan Harun Masiku, buronan yang hingga kini belum tertangkap. Hasto disebut memerintahkan Harun untuk merendam ponselnya agar tidak bisa dilacak saat operasi tangkap tangan KPK pada Januari 2020, serta menginstruksikan agar Harun tetap berada di kantor DPP PDIP.
KPK juga mendakwa Hasto turut memberikan suap sebesar Rp600 juta kepada mantan Komisioner KPU, Wahyu Setiawan, agar Harun Masiku bisa diloloskan sebagai anggota DPR melalui mekanisme pergantian antarwaktu (PAW) pada periode 2019–2024. Dugaan suap itu disebut dilakukan bersama orang kepercayaan Hasto, yaitu Donny Tri Istiqomah, Saeful Bahri, dan Harun Masiku.
Saat ini, Donny telah ditetapkan sebagai tersangka, Saeful telah divonis bersalah, sementara Harun Masiku masih dalam status buron.
Baca Juga: Ahli Hukum UGM: Temuan Baru Bisa Jerat Tersangka Meski Kasus Sudah Inkrah
Editor: Redaksi TVRINews