Penulis: Fityan
TVRINews – Jakarta
Empat Gubernur Riau Terjerat Korupsi : Ketika Kekayaan Alam Jadi 'Pedang Bermata Dua'
Provinsi Riau kembali menjadi sorotan nasional setelah Gubernur Abdul Wahid menjadi kepala daerah keempat dalam kurun waktu kurang dari dua dekade terakhir yang terjerat kasus korupsi.

(Gubernur Riau Abdul Wahid Bicara Tentang Potensi Alam di Riau usai Dilantik (Foto : Humas Pemda Riau)
Penangkapan terbaru ini, yang dilakukan melalui Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Senin (3/11), sekali lagi mengindikasikan adanya masalah sistemik dalam tata kelola pemerintahan di salah satu provinsi terkaya di Indonesia ini.
KPK mengonfirmasi bahwa Gubernur Riau, Abdul Wahid, termasuk di antara sepuluh orang yang diamankan dalam OTT tersebut.
Wakil Ketua KPK, Fitroh Rohcahyanto, menyatakan, "Salah satunya [Gubernur Riau]," saat dikonfirmasi pada hari yang sama.
Politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini, yang belum genap sembilan bulan menjabat, telah dibawa ke Gedung KPK di Jakarta untuk menjalani pemeriksaan lebih lanjut.
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, mengungkapkan bahwa penyidik juga menyita sejumlah uang tunai sebagai barang bukti. OTT ini diduga berkaitan dengan dugaan korupsi dalam proyek pembangunan jalan layang (fly over) di Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Provinsi Riau.

(Gubernur Riau Abdul Wahid (kanan) berjalan menuju ruang pemeriksaan setibanya di Gedung KPK Senin (3/11))
"Jadi selain pihak-pihak yang diamankan, ada juga sejumlah uang sebagai barang bukti yang diamankan dalam kegiatan tangkap tangan," kata Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, pada Selasa (4/11).
Hingga saat ini, status hukum Abdul Wahid masih belum diputuskan, namun jika ditetapkan sebagai tersangka, ia akan menambah daftar panjang mantan pemimpin Riau yang tersandung kasus rasuah.
Pola yang Berulang: Tiga Pendahulu Senasib
Rentetan kasus korupsi di tingkat kepala daerah Riau dimulai sejak Gubernur Saleh Djasit (periode 1998-2003) yang divonis empat tahun penjara pada 2008 karena korupsi proyek pemadam kebakaran.
Jejaknya diikuti oleh Rusli Zainal (periode 2003-2013) yang dihukum 14 tahun karena korupsi PON dan sektor kehutanan. Puncaknya, Annas Maamun (periode 2014-2019) divonis enam tahun pada 2015 untuk kasus alih fungsi lahan.
Akar Masalah: Bukan Sekadar Individu
Para pengamat menilai bahwa terulangnya kasus ini menunjukkan korupsi di Riau bukan hanya persoalan individual, tetapi masalah struktural.
Mhd Zakiul Fikri, Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia dan Direktur Hukum Center of Economic and Law Studies (CELIOS), menyoroti potensi masalah sistemik dalam tata kelola pemerintahan.
"Dari perspektif hukum, kondisi ini menurut saya menekankan perlunya reformasi birokrasi dan transparansi pengelolaan anggaran, terutama anggaran publik, serta transparansi pengelolaan sumber daya lainnya di tingkat provinsi Riau,” ujar Fikri.
Fikri menambahkan bahwa kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) seperti sawit, hutan, dan tambang di Riau memang memperbesar risiko korupsi, tetapi bukan penyebab tunggal.
Senada dengan itu, Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Egi Primayogha, menyoroti tingginya biaya politik sebagai faktor kunci.
“Ada biaya politik yang besar yang dikeluarkan oleh kepala daerah ketika Pilkada berlangsung untuk memenangkan kontestasi. Setelah mereka menjabat, muncul keharusan untuk menebus biaya politik tersebut, menutupi ongkos yang telah dikeluarkan, serta merawat jejaring patronasenya,” jelas Egi Primayogha.
Kekayaan SDA Riau, menurut Research Fellow di Corvinus Institute for Advanced Studies, Agung, telah menjadi "pedang bermata dua". Tanpa tata kelola yang kuat, hal itu justru menciptakan political rent-seeking atau perebutan rente politik, di mana kebijakan publik dikendalikan oleh kepentingan ekonomi elite, alih-alih kesejahteraan rakyat.
Editor: Redaksi TVRINews
