
Kasus Korupsi Kredit Sritex, Eks Risk Analyst LPEI Diperiksa Kejagung
Penulis: Ridho Dwi Putranto
TVRINews, Jakarta
Kejaksaan Agung (Kejagung) memeriksa seorang saksi terkait dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian fasilitas kredit sejumlah bank daerah kepada PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) dan entitas anak usaha pada Kamis, 30 Oktober 2025.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Anang Supriatna, menyampaikan bahwa satu saksi berinisial ZH, selaku Risk Analyst Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) pada tahun 2021 menjalani pemeriksaan oleh penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAM PIDSUS).
“Pemeriksaan saksi dilakukan untuk memperkuat pembuktian dan melengkapi pemberkasan dalam perkara dimaksud,” ujar Anang dalam keterangan tertulis, Jumat, 31 Oktober 2025.
Saksi ZH diperiksa terkait kasus dugaan korupsi pemberian kredit PT Sritex dan entitas anak usaha yang melibatkan tersangka IKL dan pihak lainnya.
Awal Mula Kasus Stritex
Dari hasil pemeriksaan, penyidik menemukan indikasi adanya korupsi dalam pemberian kredit kepada Sritex dengan nilai tagihan belum dilunasi (outstanding) per Oktober 2024 mencapai Rp3,58 triliun.
Pinjaman tersebut berasal dari Bank Jateng: Rp395,66 miliar, Bank BJB: Rp533,98 miliar, Bank DKI: Rp149 miliar dan Sindikasi BRI & BNI serta LPEI: Rp2,5 triliun. Selain itu, Sritex juga dilaporkan menerima fasilitas kredit dari 20 bank swasta lainnya.
Direktur Penyidikan JAM PIDSUS saat itu, Abdul Qohar, menjelaskan penyidik mencurigai adanya kejanggalan pada laporan keuangan perusahaan tahun 2021.
Pada tahun tersebut, Sritex melaporkan kerugian USD 1,08 miliar atau sekitar Rp15,65 triliun, padahal tahun sebelumnya perusahaan mencatat laba USD 85,32 juta atau sekitar Rp1,24 triliun.
“Terjadi lonjakan dari keuntungan sangat besar menjadi kerugian sangat besar dalam satu tahun. Ini menjadi fokus penyidik,” jelas Abdul Qohar.
Penyidik juga menemukan penggunaan dana kredit tidak sesuai tujuan awal. Kredit modal kerja yang diberikan kepada Sritex diduga dipakai untuk membayar utang dan membeli aset non-produktif, bukan untuk mendukung kegiatan operasional perusahaan.
Editor: Redaksi TVRINews
