
Nadiem Makarim Gugat Kejagung, Minta Status Tersangka Korupsi Chromebook Dibatalkan
Penulis: Redaksi TVRINews
TVRINews - Jakarta
Mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim resmi mengajukan gugatan praperadilan terhadap Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) terkait penetapannya sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook. Dalam sidang perdana yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Jumat, 10 Oktober 2025, Nadiem meminta hakim menyatakan penetapan status tersangkanya tidak sah.
Sidang ini dipimpin oleh hakim tunggal I Ketut Darpawan di ruang sidang utama PN Jakarta Selatan. Melalui tim kuasa hukumnya, Nadiem menyampaikan sejumlah keberatan atas proses hukum yang dilakukan oleh Kejagung.
Salah satu poin yang disoroti adalah bahwa Nadiem belum pernah diperiksa sebagai calon tersangka sebelum ditetapkan secara resmi. Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) yang mencantumkan nama Nadiem sebagai tersangka dikeluarkan bersamaan dengan hari penahanannya, yaitu Kamis, 4 September 2025.
"Sejak diterbitkannya Sprindik tanpa menyebutkan identitas tersangka pada 20 Mei 2025, termohon baru menetapkan pemohon sebagai tersangka pada 4 September 2025," ujar tim kuasa hukum Nadiem dalam persidangan.
Penahanan terhadap Nadiem juga dilakukan pada hari yang sama dengan penetapan tersangkanya. Hal ini, menurut pihak kuasa hukum, menunjukkan adanya kejanggalan dalam prosedur hukum.
Tak hanya itu, tim pengacara Nadiem juga mempersoalkan tidak adanya hasil audit kerugian negara dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) saat penetapan tersangka dilakukan.
Mereka menilai bahwa penetapan tersebut cacat hukum karena tidak didukung oleh minimal dua alat bukti permulaan yang cukup, seperti yang disyaratkan dalam hukum acara pidana.
"Penetapan tersangka dilakukan tanpa hasil audit kerugian negara secara nyata dari BPKP. Bahkan pada saat itu, BPKP masih melakukan pendalaman dan belum menerbitkan hasil audit resmi," lanjutnya.
Selain itu, tim hukum juga menyoroti tidak diterbitkannya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) sebelum tindakan penahanan dilakukan. Mereka menilai langkah Kejagung tersebut bersifat sewenang-wenang.
"Tanpa adanya SPDP sebelum atau sesudah diterbitkannya Sprindik, penahanan terhadap klien kami sangat tidak prosedural," tegasnya.
Aspek administrasi juga turut menjadi perhatian. Dalam surat penetapan tersangka, Nadiem disebut sebagai "karyawan swasta", bukan sebagai Menteri Pendidikan yang saat itu masih menjabat. Padahal, dalam KTP milik Nadiem, tercantum statusnya sebagai anggota kabinet kementerian.
Tak hanya mempertanyakan keabsahan proses hukum, tim hukum Nadiem juga menegaskan bahwa kliennya tidak pernah menikmati keuntungan pribadi dari proyek digitalisasi pendidikan tahun 2019–2022, yang menjadi objek perkara.
Lebih jauh, mereka menyebut program digitalisasi pendidikan tersebut bahkan tidak tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024. Artinya, tidak ada struktur dan alokasi anggaran resmi untuk program tersebut dari perencanaan nasional.
"Program digitalisasi pendidikan tahun 2019–2022 tidak masuk dalam RPJMN, yang merupakan dokumen resmi perencanaan pembangunan nasional. Program ini tidak memiliki dasar perencanaan yang tertuang dalam dokumen negara," kata kuasa hukum.
Dengan sejumlah alasan tersebut, Nadiem Makarim melalui kuasa hukumnya meminta hakim menyatakan penetapan tersangka dan penahanan yang dilakukan Kejaksaan Agung tidak sah dan cacat secara formil maupun materiil.
Editor: Redaksi TVRINews