Penulis: Alfin
TVRINews, Jakarta
Kejaksaan Agung menetapkan Iwan Setiawan Lukminto, Komisaris Utama sekaligus mantan Dirut Sritex, sebagai tersangka kasus dugaan korupsi jumbo senilai Rp3,58 triliun. Negara ditaksir mengalami kerugian hampir Rp700 miliar, sementara Sritex kini resmi pailit.
Dugaan korupsi ini melibatkan kredit dari berbagai bank pemerintah dan daerah yang disalurkan ke Sritex dan anak usahanya, namun diduga disalahgunakan. Bersama Iwan, dua pejabat bank dari Bank DKI dan BJB juga turut ditetapkan sebagai tersangka.
Selain Iwan, dua tersangka lainnya juga ditetapkan, yakni Zainuddin Mappa, Direktur Utama PT Bank DKI tahun 2020, serta Dicky Syahbandinata, Pemimpin Divisi Korporasi dan Komersial PT Bank BJB tahun 2020.
Direktur Penyidikan Jampidsus Kejaksaan Agung, Abdul Qohar, menyampaikan penyidikan berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor 62/FD.2/FD.2 10.2024 tanggal 25 Oktober 2024. Penetapan tersangka dilakukan, dengan penahanan selama 20 hari di Rutan Salemba Cabang Kejagung, terhitung sejak 21 Mei hingga 9 Juni 2025.
“Setelah melakukan pemeriksaan terhadap para saksi tersebut di atas, penyidik memperoleh alat bukti yang cukup telah terjadi tindak pidana korupsi dalam pemberian kredit dari beberapa bank pemerintah kepada PT Sri Rejeki Isman Tbk. Dengan nilai total outstanding atau tagihan yang belum dilunasi hingga Oktober 2024 sebesar Rp3.588.650.808.028,57,” ujar Qohar.
Kredit tersebut berasal dari:
Bank Jateng: Rp395,66 miliar
Bank BJB: Rp543,98 miliar
Bank DKI: Rp149,01 miliar
Sindikat Bank BNI, BRI, dan LPEI: Rp2,5 triliun
Selain itu, Sritex juga menerima fasilitas kredit dari 20 bank swasta, yang masih dalam tahap pendalaman nilai.
Kejagung memaparkan bahwa Sritex, yang bergerak di bidang tekstil dan produk tekstil dengan kepemilikan saham 59,03% oleh PT Huddleston Indonesia dan 40,97% oleh publik, mencatat kerugian sebesar US$1,08 miliar (Rp15,66 triliun) pada 2021, berbanding terbalik dengan laba sebesar US$85,32 juta (Rp1,24 triliun) pada 2020.
Dalam proses pemberian kredit, dua pejabat bank yang kini menjadi tersangka diduga tidak melakukan analisis yang memadai dan mengabaikan prosedur serta syarat kredit. Sritex saat itu hanya memiliki peringkat kredit BB-, yang menandakan risiko gagal bayar tinggi. Padahal, kredit tanpa jaminan seharusnya hanya diberikan kepada debitur dengan peringkat A, sesuai prinsip kehati-hatian dan ketentuan Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998.
Qohar juga menyebutkan kredit yang seharusnya digunakan untuk modal kerja justru dipakai Sritex untuk membayar utang dan membeli aset nonproduktif, yang tidak sesuai tujuan kredit.
“Kredit yang diberikan oleh PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat, Banten dan PT Bank DKI Jakarta kepada PT Sri Rejeki Isman Tbk saat ini macet dengan kolektibilitas 5. Aset perusahaan tidak bisa dieksekusi untuk menutupi nilai kerugian negara karena nilainya lebih kecil dan tidak dijadikan jaminan,” jelas Qohar.
Kini, Sritex telah resmi dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang berdasarkan putusan perkara Nomor: 2/Pdt.Sus-Homologasi/2024/PN Niaga Smg.
Akibat dari pemberian kredit secara melawan hukum ini, negara dirugikan hingga Rp692.987.592.188, dari total tagihan yang belum dilunasi sebesar Rp3,58 triliun.
Para tersangka dijerat dengan Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Editor: Redaktur TVRINews