
Juru Bicara KPK Budi Prasetyo
Penulis: Fityan
TVRINews – Jakarta
KPK Usut Jenderal Kemenag Soal Kuota Haji, Skandal Rp1 Triliun Membuntuti
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus membongkar dugaan korupsi dalam pembagian kuota haji tambahan tahun 2023-2024. penyelidikan kali ini adalah Surat Keputusan (SK) kontroversial yang diteken eks Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas, yang diduga menjadi sumber masalah.
Untuk mendalami proses penerbitan SK tersebut, penyidik KPK memanggil Nizar Ali, mantan Sekjen Kementerian Agama di era Yaqut. Nizar diperiksa sebagai saksi untuk mengungkap misteri di balik kebijakan yang disebut merugikan negara hingga lebih dari Rp1 triliun.
Menurut Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, penyidik fokus mendalami proses penerbitan SK Menag yang mengubah pembagian kuota haji tambahan. "Didalami proses-proses penerbitan keputusan atau kebijakan terkait pembagian kuota tambahan menjadi kuota reguler dan khusus," ujar Budi kepada wartawan, Senin (15/9), mengutip temuan bahwa SK tersebut tidak sesuai perundangan.
Seharusnya, kuota tambahan sebanyak 20.000 jemaah itu dibagi dengan proporsi 92% untuk haji reguler dan 8% untuk haji khusus. Namun, SK tersebut justru membagi rata 50% untuk haji reguler dan 50% untuk haji khusus.
Kesaksian Mantan Sekjen Kemenag
Usai diperiksa selama 3,5 jam di Gedung Merah Putih KPK, Nizar Ali membenarkan bahwa penyidik menanyakan mekanisme penerbitan SK tersebut. "Ya biasa nanya soal mekanisme keluarnya SK itu, kita jawab semua," kata Nizar.
Meski enggan merinci lebih jauh, Nizar menjelaskan bahwa posisi Sekjen Kemenag hanyalah sebagai koordinator administrasi. Menurutnya, proses penyusunan SK diawali dari pemrakarsa, diteruskan ke Sekjen, lalu ke Biro Hukum, hingga akhirnya ada pembahasan sebelum ditandatangani Menteri Agama.
"Ya kan ada pemrakarsa, dari pemrakasa kemudian ke sekjen, sekjen ke biro hukum, biro hukum terus dibahas dengan satu baru proses paraf-paraf," tambahnya.
Aliran Dana dan Kerugian Rp1 Triliun
Penyelidikan ini bermula dari pemberian 20.000 kuota haji tambahan oleh pemerintah Arab Saudi untuk mengurangi antrean panjang jemaah di Indonesia. Namun, KPK mencium aroma tidak sedap di balik pembagian yang tidak lazim tersebut.
Diduga, adanya aliran uang dari pihak travel haji dan umrah serta asosiasi ke oknum di Kementerian Agama. Setelah mendapatkan jatah kuota, mereka lantas menjualnya kembali kepada calon jemaah dengan harga tinggi, yang menjadi sumber kerugian negara.
KPK telah menerbitkan surat perintah penyidikan (sprindik) umum untuk kasus ini dengan sangkaan Pasal 2 Ayat 1 dan/atau Pasal 3 UU Tipikor, yang mengindikasikan adanya kerugian negara. Meskipun penghitungan masih terus berkoordinasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), kerugian negara awal disebut-sebut mencapai lebih dari Rp1 triliun.
Editor: Redaktur TVRINews