
Foto: Plt Deputi Penindakan KPK Asep Guntur Rahayu
Penulis: Ridho Dwi Putranto
TVRINews, Jakarta
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menetapkan lima orang sebagai tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan mesin Electronic Data Capture (EDC) di PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk periode 2020–2024. Nilai proyek pengadaan tersebut mencapai Rp 2,1 triliun.
Plt Deputi Penindakan KPK Asep Guntur Rahayu menjelaskan, penetapan tersangka dilakukan setelah KPK menemukan bukti permulaan yang cukup terkait dugaan adanya perbuatan melawan hukum dalam proses pengadaan EDC.
"Telah ditemukan bukti permulaan yang cukup terkait dengan dugaan tindak pidana korupsi dalam pengadaan Electronic Data Capture (EDC) Android," ujar Asep di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Rabu, 9 Juli 2025.
Adapun lima tersangka dalam kasus ini terdiri dari tiga pejabat internal BRI dan dua pihak swasta, berinisial CBH selaku Wakil Direktur Utama BRI, IU selaku Direktur Digital Teknologi Informasi dan Operasi BRI, DS selaku SEVP Manajemen Aset dan Pengadaan BRI, EEL selaku pihak swasta dari PT PCS dan RSK selaku pihak swasta dari PT BIT.
Baca Juga: Penasihat Hukum Minta Tom Lembong Dibebaskan dari Dakwaan Kasus Impor Gula
Asep menjelaskan, pengadaan mesin EDC dilakukan melalui dua skema, yaitu pembelian dan penyewaan. Untuk skema pembelian, pengadaan dilakukan sepanjang 2020–2024 dengan jumlah unit mencapai 346.838 unit dan nilai anggaran sebesar Rp 942,79 miliar.
Sementara skema penyewaan dilakukan selama tiga tahun sejak 2020 hingga 2023, dengan nilai anggaran mencapai Rp 581,79 miliar. Skema ini kemudian diperpanjang hingga 2024 dengan tambahan anggaran Rp 634,2 miliar untuk 200.067 unit EDC.
KPK mengungkap, sejak awal proses pengadaan telah terjadi persekongkolan. Pada 2019, sebelum proses pengadaan resmi dimulai, tersangka EEL diduga telah beberapa kali bertemu dengan IU dan CBH. Dalam pertemuan tersebut, disepakati bahwa EEL akan menjadi penyedia barang.
"Sudah terjadi komunikasi dan kesepakatan sebelum proses pengadaan. Padahal seharusnya pengadaan dilakukan melalui mekanisme lelang terbuka," kata Asep.
IU kemudian mengarahkan jajarannya untuk melakukan uji kelayakan terhadap mesin EDC milik EEL. Uji kelayakan tersebut dilakukan secara terbatas, tanpa membuka peluang bagi vendor lain untuk ikut serta. Hal ini membuat EEL seolah-olah memenuhi syarat sebagai vendor utama.
Selain itu, penyusunan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) tidak mengacu pada harga dari produsen atau distributor resmi, melainkan menggunakan data dari EEL sendiri. "Padahal seharusnya harga diperoleh dari prinsipal agar lebih transparan dan efisien," tegas Asep.
KPK juga mengungkap adanya aliran uang dan gratifikasi dalam kasus ini. CBH menerima uang sebesar Rp 525 juta, dua ekor kuda, serta sepeda merek Cannondale seharga Rp 60 juta dari EEL. Sementara tersangka RSK menerima uang Rp 19,72 miliar selama periode 2020–2024.
Dari hasil perhitungan kerugian negara yang dilakukan menggunakan metode real cost, total kerugian akibat korupsi ini mencapai Rp 744,54 miliar.
"Kerugian keuangan negara sekurang-kurangnya sebesar Rp 744.540.374.314," pungkas Asep.
Editor: Redaktur TVRINews